Selasa, 22 Maret 2011

Benarkah Islam merendahkan kaum wanita?

Bismillaahirrahmanirrahiim

Islam datang ketika sebagian manusia mengingkari kemanusian wanita, dan sebagian lainnya meragukan. Jika pun ada yang mengakui kemanusiaannya, mereka masih menganggap bahwa wanita itu makhluk yang diciptakan semata-mata untuk melayani kaum laki-laki.

Bahkan di kalangan bangsa Arab, kaum wanita sangat terhina, sampai-sampai ada sebagian dari mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya, sebagaimana di sebutkan dalam firman Allah :

“Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl {16}:58-59).

Pada waktu itu, bangsa Arab tidak memberikan warisan kepada kaum wanita dan anak-anak, melainkan memberikannya kepada orang-orang yang berperang menghadapi musuh. Bangsa Arab juga merampas hak warisan secara paksa dari kaum wanita dengan mendatangi suami si perempuan dan kemudian melemparkan baju diatas badanya seraya berkata, “Aku mewarisi hartanya sebagaimana engkau mewarisi hartanya!”

Maka mereka pun menjadi lebih berhak daripada perempuan itu. Ada sebagian dari mereka yang memaksa budak-budak perempuan mereka untuk melakukan pelacuran agar mendapatkan uang untuk mereka. Juga ada yang mewarisi istri-istri mereka bagaikan mewarisi sejumlah barang. Demikianlah kekacauan lembaga keluarga di zaman pra-Islam. Naudzubillah tsumma naudzubillah… :’(

Kemudian datanglah Islam memberikan kepada kaum wanita hak-hak mereka secara adil dan menjadikan mereka sebagai tonggak keluarga, memperhatikan dan menjaga mereka, juga memelihara kesucian serta menempatkan mereka dalam kedudukan yang sesuai dengan keadaan mereka. Karenanya, Islam mengatur pewarisan kaum wanita dan menjelaskan hak-hak mereka dalam firman Allah :

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisaa’ {4}:7).

Islam mengharamkan mewarisi kaum wanita secara paksa, seperti disebutkan dalam firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mewarisi wanita dengan paksa. …” (QS. An-Nisaa’ {4}:9).

Islam juga mengharamkan pemaksaan budak wanita untuk melakukan pelacuran, sebagaimana ditegaskan Allah ta’ala dalam firman-Nya : “…Dan janganlah engkau memaksa budak perempuan untuk melakukan pelacuran, sementara mereka sendiri menginginkan kesucian, karena engkau hendak mencari keuntungan duniawi …” (QS. An-Nuur {24};33).

Demikian pula, Islam melarang menikahi istri ayah dengan kalimat yang mengecam dosa ini, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah : “Dan janganlah kalian mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An-Nisaa’ {4}:22).

Wahai saudara-saudariku tersayang rahiimakumullaah…

Sungguh mulia-lah Islam! Karena ia datang memuliakan kaum wanita, menegaskan eksistensi kemanusiaannya, dan mengakui kelayakannya menerima tugas dan tanggung jawab, pembalasan, dan mengakui akan haknya untuk masuk surga.

Islam menghargai wanita sebagai manusia terhormat. Sebagaimana kaum laki-laki, wanita juga mempunyai hak-hak kemanusiaan, karena keduanya berasal dari “satu pohon”. Keduanya merupakan dua bersaudara yang dilahirkan oleh satu ayah, yaitu Adam dan satu ibu, yaitu Hawa.

Secara umum keduanya berasal dari satu keturunan dan sama dalam karakter kemanusiaannya. Keduanya sama dalam hal beban dan tanggung jawab. Di akhirat pun kelak bakal sama-sama menerima pembalasan, sebagaimana diberitakan oleh al-Qur’an :

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisaa’ {4}:1).

Duhai saudara-saudariku tercinta rahiimakumullaah…

MEREKA KATAKAN BAHWA POLIGAMI ITU MERENDAHKAN & MANZHOLIMI KAUM WANITA…!?

Orang-orang Kristen dan orientalis mem-blow up tema poligami ini seakan-akan merupakan salah satu syi’ar Islam yang wajib atau minimal sunnah untuk dikerjakan tanpa syarat apapun.

Hal ini merupakan KESESATAN dan PENYESATAN. Sebab sesungguhnya Islam mensyaratkan kebolehan berpoligami, jika adanya kepercayaan diri seorang MUKMIN untuk berlaku ‘adil’ terhadap para istrinya. Artinya Islam memerintahkan cukup ber-istri-kan satu saja, seandainya seorang muslim khawatir tidak mampu berlaku adil atau takut berbuat zholim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “…Jika kamu takut berlaku tidak adil, maka cukuplah satu istri …” (QS. An-Nisaa’ {4}:3).

Dengan demikian dalam masalah pernikahan sikap utama adalah mencukupi diri dengan satu istri. Hanya saja, ada pertimbangan-pertimbangan manusiawi, baik secara individu maupun sosial yang menjadikan Islam memperbolehkan seorang mukmin beristrikan lebih dari satu. Dalam hal ini Islam adalah dienul yang sesuai dengan fitrah manusiawi, sekaligus memberikan solusi yang realistis bagi persoalan kemanusiaan, tanpa harus lari menjauh dan jatuh dalam khayalan.

Poligami yang diatur dalam Islam sesungguhnya merupakan system nilai yang moralis dan manusiawi. Disebut moralis, karena Islam tidak memperbolehkan laki-laki berhubungan dengan sembarang perempuan yang disukainya dimana saja. Ia tidak boleh berhubungan dengan perempuan secara rahasia, tetapi harus melalui akad dan mengumumkannya, meskipun pada kalangan dalam jumlah terbatas. Di sebut manusiawi, karena dapat meringankan beban masyarakat dalam bentuk memberi perlindungan kepada perempuan yang tidak bersuami dan menempatkannya dalam barisan para istri yang terpelihara dan terjaga kehormatannya.

Selanjutnya wahai kekasih Rasulullah SAW yang dirahmati oleh Allah ta’ala…

BENARKAH PEREMPUAN SEPENUHNYA HARUS TAAT KEPADA LAKI-LAKI (SUAMINYA)…!?

Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepada setiap istri untuk taat kepada suaminya dan menjanjikan untuknya pahala yang besar. Sebab, suami diberi wewenang oleh Allah ta’ala untuk memegang tongkat kepemimpinan terhadap istri dan anak-anaknya. Sebagaimana dalam firman-Nya :

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwam) bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisaa’ {4}:34).

Allah ta’ala pun memberikan potensi khusus sesuai dengan tanggung jawab kehidupan yang dipikulnya. Laki-laki memiliki keistimewaan dalam hal fisik, akal, dan jiwanya. Allah menganugerahkan kenikmatan itu semua untuk menjadikan dia sebagai pemimpin dalam keluarganya. Sebagaimana Allah memberikan anugerah-Nya kepada kaum wanita, juga sesuai dengan tanggung jawab yang diembannya.

Agar kepemimpinan suami ini dapat berjalan dengan baik, maka istri diwajibkan mentaatinya. Namun demikian, suami sebagai seorang pemimpin dalam keluarga tidak boleh berlaku sewenang-wenang. Kepemimpinan itu harus dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab yang disertai pengabdian dan pengorbanan karena Allah semata. Tidak boleh ada eksploitasi apalagi penindasan terhadap istri.

Sebab ISTRI pun DIWAJIBKAN TAAT KEPADA SUAMI, SELAMA PERINTAH-PERINTAHNYA BENAR, TIDAK MENYALAHI SYARI’AT DAN TIDAK MENGANDUNG UNSUR MAKSIAT KEPADA ALLAH SWT. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah bersabda, “Tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Khaliq.”

Hadits ini menegaskan dan menunjukkan bahwa hakikatnya taat kepada suami adalah dalam rangka taat kepada Khaliq, Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, andai perintah para suami menyalahi perintah Allah, maka para istri tidak memiliki kewajiban untuk mentaatinya.

Saudara-saudariku kekasih Rasulullah SAW yang Jean cintai karena Allah…

APAKAH BENAR ISLAM TIDAK MEMBERI PELUANG KEPADA WANITA UNTUK IKUT TERLIBAT DALAM URUSAN PUBLIK…!?

Banyak kesalahpahaman dalam memandang peran wanita. Peran wanita dipandang hanyalah ibu rumah tangga yang menunggu suami di rumah dan hanya mengurusi anak-anaknya. Tidak perlu memiliki peran dalam dienul, masyarakat, dan bangsanya…!?

Memang Islam mengajarkan bahwa seorang istri harus taat kepada suami. Namun Islam tidak pernah melarang seorang muslimah untuk berkiprah dalam berbagai kancah kehidupan, sesuai dengan keahlian dan kemampuan yang dimiliki masing-masing. Tentu saja selama perannya itu tidak keluar dari batasan-batasan syari’at.

Sesungguhnya Islam mengajarkan peran wanita sebagai seorang istri dan seorang ibu, ia pun berhak memiliki peran-peran publik, seperti peran dalam pendidikan, dakwah, ekonomi, politik, bahkan peran dalam peperangan.

Sejarah menunjukkan bagaimana peran wanita dalam pendidikan atau keilmuan. Salah satu contohnya adalah ‘Aisyah ra yang meriwayatkan lebih dari seribu hadits. Di dalamnya berisi tentang hukum-hukum, tentang akhlak, dan sebagiannya yang kemudian menjadi pedoman bagi umat Islam. Kemudian Hafshah ra yang kuat hafalannya dan bagus tulisan serta bacaannya. Ia menyimpan beberapa mushaf al-Qur’an dan menghafalnya sampai ‘Usman ra menerima hafalan darinya. Subhanallah…

Pada masa awal Islam, wanita turut hijrah ke Habsyi dan Madinah. Mereka pun membantu penyediaan logistik dan medis untuk Nabi dan para sahabat dalam berbagai peperangan. Bahkan tidak sedikit di antara kaum wanita yang juga ikut berjihad langsung di tengah medan pertempuran melawan kaum musyrikin.

Sungguh semua ini menunjukkan bahwa di dalam Islam wanita tidak harus bergelut dalam peran-peran domestik, tetapi juga perlu terlibat dalam peran-peran publik, sepanjang hal itu membawa kemaslahatan bagi dirinya, keluarga, masyarakat, dan ISLAM.

Duhai calon bidadari Jannah yang aku cintai…
Bukankah segala sesuatunya sudah sangat jelas?
Tidakkah engkau berkeinginan mengerjakan tugas mulia ini bersama-sama..?


Billahitaufiq wal-hidayah,
Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakaatuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar